Sabtu, 27 Desember 2014

Cara Menghadapi Globalisasi Dalam Bidang Sosial Budaya



                Sewajarnya, sama seperti penulisan saya sebelumnya saya akan mengawali pembahasan ini dengan memaparkan definisi globalisasi.
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Jan Aart Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
·         Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
·         Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
·         Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
·         Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
·         Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara. (sumber Wikipedia)
Dalam penulisan ini saya akan menggaris bawahi definisi John Art yaitu Westernisasi karena topik penulisan ini adalah cara menghadapi globalisasi dalam bidang sosial budaya. Seperti yang kita sama sama ketahui bahwa budaya barat sangat mendominasi budaya budaya diseluruh dunia. Mulai dari gaya hidup sampai gaya berpakaian. Budaya barat bukanlah tidak memiliki sisi baik sama sekali, melainkan beberapa diantaranya perlu kita saring sehingga tidak merusak moral bangsa.
Indonesia adalah Negara yang sebelum terpengaruh oleh budaya barat, memegang budaya timur. Beberapa hal yang menjurus kearah ‘bebas’ dalam artian tidak baik seringkali dianggap tabu. Namun seiring berjalannya globalisasi, norma norma tersebut seakan hilang digerus zaman. Perilaku perilaku yang mencerminkan budaya barat dapat terlihat jelas terutama pada kalangan remaja. Pakaian pakaian yang makin seronok serta gaya hidup malam menjadi sesuatu yang dianggap biasa oleh masyarakat dikota kota metropolitan.
Menurut saya pribadi sangat penting bagi remaja untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi kuatnya arus globalisasi. Jika kita lemah dan mudah dipengaruhi maka bukan tidak mungkin kita akan terjerumus dalam kehidupan yang buruk. Memang, menentang arus tidaklah mudah. Niat ingin menjaga diri malah bisa bisa disebut kuper. Kehidupan social yang saya lihat saat ini sangatlah bobrok. Remaja berlomba lomba meningkatkan level ‘gaul’ mereka dengan clubbing, berfoya foya dan hidup hedonis. Sebagai anggota masyarakat kita tidak bisa mengharapkan fenomena ini berhenti begitu saja, melainkan kita harus mempunyai prinsip sendiri. Dengan cara lebih mendalami agama, memilih teman bergaul yang baik, berusaha menjauhi kegiatan kegiatan yang merusak moral, dan lain lain. Pada intinya adalah bagaimana masing masing individu mengerti, mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang bermanfaat untuk kemajuan hidup bangsa dan Negara, mana yang menjatuhkan moral bangsa.
 Selain itu masyarakat Indonesia pun perlu menjaga kelestarian budaya Indonesia. Tarian adat dikalahkan oleh tarian modern. Baju adat dikalahkan oleh gaun gaun rancangan designer luar negri. Musik adat dikalahkan oleh musik musik barat, korea dan jepang. Bukan hal yang tidak mungkin jika dari generasi ke generasi makin habislah orang orang yang dapat menari adat dan memainkan alat musik daerah. Tidak  memungkiri, bahwa tarian dan musik modern jauh lebih menghibur untuk remaja. Tapi dengan tujuan melestarikan, saya yakin musik dan tarian daerah mempunyai daya tarik sendiri. Saat ini tari saman menjadi ekskul terkemuka disekolah sekolah di Indonesia. Hal ini adalah cara yang sangat bagus. Lebih baik lagi jika tidak hanya tari saman yang dijadikan ekskul. Adanya mata pelajaran bahasa daerah juga menurut saya cukup untuk membuat remaja tidak lupa akan bahasa ibu.
Sekian penulisan saya semoga bisa membuat pembaca menyadari pentingnya kita menyaring sosial budaya yang dibawa oleh arus globalisasi dengan tujuan menjaga dan melestarikan budaya serta moral bangsa Indonesia.