Kamis, 08 Desember 2016

Review Contoh Desain Komunikasi Visual

Nama : Afifah Rezky Ensharputri
Kelas : 3IA22
Mata Kuliah : Desain Pemodelan Grafik(Softskill)
Dosen : Syefani Rahma Deski

Ruang lingkup Desain Komunikasi Visual Meliputi:

Advertising (periklanan)
Menekankan untuk mempengaruhi dan merubah orientasi konsumen untuk kepentingan ekonomi, seperti iklan TV, iklan majalah.

Animasi
Berupa gambar bergerak, baik 2D maupun 3D, contohnya anime dan CGI (Computer Generated Image).

Desain identitas Usaha (corporate identity)
Pembuatan identitas sebuah perusahaan, seperti seragam, logo.

Desain Marka lingkungan
Antara lain adalah pembuatan tanda-tanda penunjuk jalan.

Multimedia
Lebih fleksibel karena tidak terpaku pada 1 jenis media.

Desain Grafis Industri (promosi)
Hampir sama dengan iklan, mungkin bedanya hanya tidak berorientasikan ekonomi (untuk menambah konsumen loyal dan keuntungan) tapi hanya sekedar memberi informasi

Desain Grafis Media
Pembuatan media tulis-menulis seperti buku, surat kabar, majalah

Cergam
Pembuatan cerita bergambar seperti komik, karikatur, Poster

Fotografi, Tipografi dan ilustrasi
Tentang pengambilan gambar, jenis dan bentuk tulisan, serta pemvisualisasian sebuah ide.


Teori desain komunikasi visual

A. Teori Sensual

Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil.
Istilah “Gestalt” mengacu pada sebuah objek/figur yang utuh dan berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya.
Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.
Teori gestalt banyak dipakai dalam proses desain dan cabang seni rupa, karena banyak menjelaskan bagaimana persepsi visual dapat terbentuk. Persepsi jenis ini bisa terbentuk karena:
Kedekatan posisi (proximity)
Kesamaan bentuk (similiarity)
Penutupan bentuk
Kesinambungan pola (continuity)
Kesamaan arah gerak (common fate)
Gestalt dan Komunikasi Visual
Kekuatan teori gestalt terhadap persepsi visual adalah perhatiannya terhadap bentuk-bentuk yang menyusun konten sebuah gambar. Analisis dari suatu gambar harus dimulai dengan konsentrasi kepada bentuk-bentuk yang secara alamiah muncul dalam gambar. Ingatlah bahwa warna, bentuk, kedalaman, dan pergerakan adalah karakteristik dasar dari suatu gambar yang memberitahu otak. Gestalt mengajarkan komunikator visual untuk menggabungkan unsur-unsur dasar tersebut menjadi keseluruhan yang bermakna. Pendekatan ini juga mengajarkan seniman grafis untuk memusatkan perhatian pada unsur-unsur tertentu dengan bermain melawan prinsip-prinsip gestalt. Sebagai contoh, sebuah logo perusahaan (atau merek dagang) akan diketahui dalam sebuah iklan jika memiliki bentuk yang berbeda, ukuran, atau lokasi dalam kaitannya dengan elemen-elemen lain dalam layout.
Konstruktivisme
Pendekatan gestalt telah dikritik karena hanya menggambarkan persepsi daripada memberikan penjelasan tentang bagaimana persepsi ini sebenarnya memberi makna pada sebuah gambar. Akibatnya, beberapa psikolog gestalt berusaha untuk mengembangkan teori-teori yang membantu menjelaskan pentingnya keadaan mental si pengamat sendiri ketika sedang aktif mengamati.
Pada tahun 1970, Julian Hochberg, seorang profesor psikologi di Universitas Columbia, menemukan bahwa mata pengamat terus-menerus bergerak ketika mereka mengamati gambar. Fokus fiksasi ini semua bergabung dengan ingatan jangka pendek pengamat untuk membantu membangun sebuah gambaran dari suatu kejadian. Pengamat menyusun adegan dengan fiksasi mata jangka pendek bahwa pikiran bergabung menjadi kesatuan gambar. Untuk Hochberg, pendekatan yang gestalt gambarkan kepada pengamat terlalu pasif. Sebaliknya, konstruktivisme menekankan gerakan mata pengamat dalam keadaan persepsi aktif.


B. Teori Perseptual

Semiotika
Bendera yang ditinggikan di atas stadion sepak bola dan ditonton takzim selama menyanyikan lagu kebangsaan di tribun dan di lapangan adalah sebuah tanda. Tangan kanan ditempatkan di dekat dada selama menyanyikan lagu kebangsaan adalah suatu tanda. Kata-kata yang dikeluarkan dalam program tentang pemain sepak bola di lapangan adalah tanda-tanda. Close-up foto-foto pemain berjongkok dan menunggu menjentikkan bola selama pertandingan adalah tanda-tanda. Angka yang menyala di papan angka adalah tanda-tanda. The “high-five” menampar seorang teman setelah tim touchdown adalah tanda. Siluet sederhana menggambarkan seorang laki-laki di atas pintu kamar pria adalah sebuah tanda.
Sebuah tanda hanyalah sesuatu yang berdiri untuk sesuatu yang lain. Setelah membaca daftar sebelumnya tanda-tanda Anda mungkin bertanya: Apa yang bukan tanda? Itu pertanyaan yang bagus karena hampir semua tindakan, objek, atau gambar akan berarti sesuatu kepada seseorang di suatu tempat. Representasi fisik adalah sebuah tanda jika memiliki makna di luar obyek itu sendiri. Akibatnya, makna di balik tanda-tanda harus dipelajari. Dengan kata lain, untuk sesuatu yang menjadi tanda, para penyimak harus memahami maknanya.
Penerimaan Semiotika, Pierce dan de Saussure tidak terlalu tertarik pada aspek-aspek visual tanda-tanda. Mereka adalah ahli bahasa tradisional yang mempelajari cara kata-kata digunakan untuk mengomunikasikan arti melalui struktur naratif. Namun, selama bertahun-tahun semiotika telah berkembang menjadi teori persepsi yang melibatkan penggunaan gambar dalam cara yang tak terduga. Sebagai contoh, Sebeok mengidentifikasi beberapa topik semiotika yang telah dipelajari peneliti. Selain topik yang jelas mengenai tanda-tanda visual dan simbol digunakan dalam desain grafis, mereka termasuk semiotika teater, dimana unsur-unsur kinerja dianalisis; semiotika televisi dan komersial; semiotika pariwisata; semiotika dari tanda-tanda yang digunakan dalam seragam pramuka; sistem semiotika notasi yang digunakan di tarian, keterangan notasi yang digunakan dalam tari, musik, logika, matematika, dan kimia; dan semiotika perkotaan, di mana kota dipandang sebagai simbol sosial. Lapangan semiotika telah menjadi sangat populer sehingga jurnal, konferensi internasional, dan departemen akademik di universitas sekarang mengabdikan diri untuk semiotika.
Tiga Jenis Tanda

Pertama kali yang penting dalam lapangan semiotik, lapangan sistem tanda, adalah pengertian tanda-tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Merujuk teori Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya.
Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan.
Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan.
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.
Gambar, kumpulan tanda
Roland Barthes menggambarkan rantai asosiasi atau tanda yang membentuk narasi gambar. Dalam bahasa verbal narasi ini seperti garis. Satu kata mengikuti berikutnya dalam aturan tertentu berbasis pesanan. Dalam hal itu, komunikasi verbal dianggap tidak bersambungan satu sama lain.

Tanda-tanda dalam gambar disajikan dalam berbagai cara, banyak sekali tergantung pada gaya pembuat gambar. Meskipun rantai tanda-tanda yang lebih ketat dikontrol dengan teks daripada gambar, satu pengecualian mungkin puisi, dimana susunan kata-kata dapat menjadi nonlinier.

Istilah umum untuk asosiasi rantai Barthes adalah kode. Melalui sejarah dan adat istiadatnya, masyarakat mengembangkan sistem yang kompleks untuk kode.

Demikian tanda-tanda individu digabungkan untuk mengkomunikasikan ide-ide rumit dalam bentuk kode ini. Asa Berger menyarankan empat jenis kode: metonimis, analogis, displaced, dan ringkas (condensed).
Sebuah kode metonimis adalah kumpulan tanda-tanda yang menyebabkan penyimak membuat asosiasi atau asumsi. Sebuah foto dalam iklan menunjukkan tanda-tanda tentang ruang tamu dengan lukisan-lukisan mahal di dinding, panel kayu yang nyata, kaya kain perabot, pencahayaan lembut, dan api menyala di bawah sebuah mantel akan berkomunikasi secara metonimis tentang prospek asmara atau kenyamanan untuk warga kelas atas.
Sebuah kode analogis adalah kelompok tanda-tanda yang menyebabkan penyimak membuat perbandingan mental. Kertas tulis kuning bisa mengingatkan seorang penulis kulit kuning dari lemon karena warnanya yang serupa.
Akhirnya, kode singkat adalah beberapa tanda-tanda yang dapat bergabung menjadi baru, tanda komposit. Video musik dan periklanan televisi diilhami oleh mereka yang unik dan seringkali memiliki makna yang tak terduga. Tanda musisi, penari, musik, teknik editing cepat, grafik, warna, banyak gambar, dan sebagainya semua adalah bentuk pesan yang kompleks.

Dalam budaya pesan ini ditujukan untuk kode singkat yang memiliki arti relevan. Tetapi bagi mereka di luar budaya itu, gambar sering membingungkan, acak, dan tanpa tujuan.

Cara individu mengkombinasikan bentuk tanda-tanda dan pesan yang bermakna mereka sendiri seringkali tidak dapat dikendalikan oleh para pencipta tanda-tandanya. Tipe kode ini adalah yang paling menjanjikan untuk cara baru komunikasi dan tempat penelitian semiotika perlu terjadi.

Simbol sering membangkitkan tanggapan emosional yang kuat di antara penonton. Pembakaran sebuah bendera nasional negara sebagai sikap protes adalah simbol yang kuat menantang dan kemarahan. Ini bukan hanya suatu tindakan untuk menciptakan panas melalui pembakaran sepotong kain.

Semiotika mengajarkan pentingnya simbolisme dalam tindakan persepsi dan komunikasi visual. Seorang penonton yang tahu makna di balik tanda-tanda yang digunakan dalam gambar yang rumit akan mendapatkan wawasan dari itu, sehingga gambar lebih mudah diingat. Bahaya menggunakan tanda-tanda kompleks sebagai bagian dari suatu gambar adalah bahwa mereka mungkin disalahpahami, diabaikan, atau ditafsirkan dengan cara yang salah. Namun demikian, tantangan bagi komunikator visual, yang dinyatakan dalam studi semiotika adalah bahwa bila digunakan dengan benar, tanda-tanda dapat menawarkan cara-cara komunikasi yang sebelumnya tidak dikenal.
Kognitif
Menurut pendekatan kognitif, penonton tidak hanya menyaksikan keterangan objek yang terstruktur, seperti dalam teori gestalt, tetapi juga secara aktif tiba pada suatu kesimpulan tentang persepsi melalui operasi mental.
Carolyn bloomer mengidentifikasi beberapa aktifitas mental yang bisa memengaruhi persepsi visual: ingatan, proyeksi, harapan, selektifitas, habituasi (hal membiasakan diri), saliance, disonansi (ketidaksesuaian), budaya dan kata-kata.


C. Melihat dengan jelas adalah aktifitas manusia

Semiotika dan pendekatan kognitif komunikasi visual menyatakan bahwa pikiran manusia adalah organisme hidup dan jauh lebih rumit dimana ilmu pengetahuan mungkin tidak sepenuhnya mengerti. Tapi berarti koneksi antara apa yang orang lihat dan bagaimana mereka menggunakan gambar-gambar tersebut muncul ketika proses mental dipandang sebagai manusia bukan suatu proses mekanis.

D. Hubungan Teori Dasar Komunikasi Visual dengan Teknologi Pendidikan

Dalam kurikulum dan teknologi pendidikan, seorang teknolog pendidikan dalam merancang pembelajaran memerlukan ilmu mengenai tanda yang terdapat dalam semiotika, membutuhkan teori gestalt dalam menampilkan gambar sebagai media penyampaian pesan, memerlukan ilmu yang mendukung proses penyebaran informasi maupun teori-teori dasar lain dari komunikasi visual agar pesan yang disampaikan bisa diterima oleh para pelajar.




sumber :
https://bahrurrosyididuraisy.wordpress.com/research/desain-komunikasi-visual/

Kamis, 01 Desember 2016

Desain Komunikasi Visual

Nama : Afifah Rezky Ensharputri
Kelas : 3IA22
Mata Kuliah : Desain Pemodelan Grafik(Softskill)
Dosen : Syefani Rahma Deski

SEJARAH DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

           Di Indonesia, Desain grafis dan cabang desain lainnya hadir berkat digalakannya kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di Indonesia untuk merekam eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam karya lukisan yang berkesan romantis dan beberapa teknk cetak seperti wood engravingdan lithography. Karena memang pada masa ini seni rupa Barat sedang merayakan romantisme yang kajian visualnya seringkali ditujukan pada landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau hindia yang cantik. Berangkat darinyalah desain grafis mulai diperkenakan secara tidak langsung kepada rakyat Indonesia. penguasaan teknik cetak pun bukan dari akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang asing. Mesin cetak pertama kali di datangkan ke pulau Jawa pada tahun 1659. Karena tidak ada operatornya, mesin itu menganggur sampai berpuluh-puluh tahun. Tujuan misionaris mendatangkan mesin cetak erat kaitannya dengan niat mereka untuk mencetak kitab suci dan buku-buku pendidikan Kristen. Selain mencetak kitab suci, mereka juga menerbitkan surat kabar berhaluan pendidikan Kristen. moving image,display dan pameran. Sejak tahun 1979, istilah desain komunikasi visual mulai dipakai menggantikan istilah desain grafis.
           Akhir 1970 dan seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain-desain non-iklan, beberapa di antaranya adalah Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Djodjo Gozali, S Prinka dan Priyanto Sunarto), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi dan Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Di Bandung sebelumnya sudah ada design center Decenta yang didirikan pada tahun 1973, antara lain oleh AD Pirous, T Sutanto, Priyanto Sunarto, yang walau lebih mengandalkan pada disiplin seni grafis juga menangani beragam produk desain grafis, mulai sampul buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran dan elemen estetis gedung.
             Periode awal 1980 mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis yang cukup signifikan di Jakarta, antara lain: Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja dkk), dll.
             Menjelang akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk postmodernisme yang digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan dan kebaruan yang radikal dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak terlepas seni grafis. Penyampaian idea yang dimiliki seiman pada karya dituangkan pada media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya merayakan kehadiran potmodernisme dengan menjatuhkan pilihan pada instalasi. Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik grafis dengan media asing yang dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada pameran ‘Taman Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni Grafis dan Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap menyisipkan corak seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya bersanding dengan arus deras kritisisme postmodernisme.
        Lebih jauh lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang didukung oleh laju perkembangan teknologi yang kian pesat juga. Teknologi-teknologi grafis mutakhir pun seperti c-print, digital print, dll mulai dipertanyakan konvensinya. Beberapa pihak mencoba untuk mengamini hal tersebut, namun banayak pihak yang ‘keukeuh’ menyuarakan seni grafis konvensional lebih bernilai daripada seni grafis dengan media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu mudahanya reproduksi yang ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi sehingga dianggap makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya. Namun kalangan postmodernisme yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya seni tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.
             Selain perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat pada perkembangan seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog Jogja-Bandung yang selalu hangat dibicarakan sampai saat ini, seperit pada seni lukis, seni grafis pun mulai menampakkan kecenderungan karya yang berbeda antar seniman Jogja dan Bandung. Secara umum, dari masa Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, kecenderungan mazhab kedua kota ini memang berbeda, Jogja yang lekat dengan kaitan seni dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung dengan perayaan modernism pada karyanya. Pun pada akademi seni yang dikembangkan oleh kedua kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi ini, Sekolah Guru Gambar yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian menjadi ISI Jogja. Perbedaan visi yang diturunkan para pendir akademi ini kemudian berkembang dan kian mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini ramai dibicarakan. Khususnya pada seni grafis, kecenderungan penggunaan media pun mulai terlihat, hal ini boleh jadi disebabkan oleh ketersediaan mesin cetak dan alat pendukung lainnya dalam berkarya seni grafis. ITB, dikenal sebgai institusi yang memiliki mesin terlengkap di Indonesia melahirkan seniman yang diberi kesempatan lebih untuk mengeksplorasi teknik grafis, sementara di Jogja, kelangkaan mesin cetak datar dan kurang fungsionalnya mesin cetak dalam kemdian megantarkan senimannya untuk amat menggeluti teknik cetak tinggi. Serigrafi, kemudian menjadi media yang diminati kedua polar ini, karena kemudahan dalam pengayaan media pendukungnya, namun tetap memiliki kecenderungan yang berbeda dalam penyajian karyanya. Keterbatasan mesin ini kemudian tidak dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka dengan giarnya menggeluti cukil kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang dapat dinilai amat baik. sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi hal yang sering dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam pemilihan teknik cetak yang digunakan.
         Seni grafis kontemporer Indonesia adalah cabang seni yang dinilai amat kaya, baik secara visual mauoun ide yang diutuangkan senimannya. proses berkarya grafis kemudian mempengaruhi kecenderungan berkarya para senimannya kemudian melahirkan seniman yang memiliki pola kerja yang teratur dan pemikiran yang terstruktur. Perkembangan seni grafis kontemporer Indonesia kiranya dinilai amat berkembang dengan baik, eskplorasi teknis diaplikasikan pada media yang dianggap kurang lazim dalam penyajian karya grafis. Dari kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik. Perayaan teknologi pun memberikan banyak opsi yang sangat banyak bagi seniman grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh lagi, pereneungan kontemplatif seniman kemudian melahirkan penyajian karya yang menggunakan teknik cetak secara filosofis.

PERBEDAAN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL DENGAN SENI MURNI

Desain Komunikasi Visual sebagai seni rupa terapan adalah bentuk seni yang penerapannya berlaku secara umum dalam bentuk komunikasi visual. Sedangkan Seni murni merupakan ekspresi jiwa yang bersifat individual, subjektif, dan lebih ditujukan kepada kepuasan terhadap karya, bukan terhadap fungsi. 
Hal itu lah yang membuat desain komunikasi visual berbeda dengan seni murni. Sebuah karya seni lebih bersifat ekspresif dan tidak punya tujuan secara umum. Seni bersifat individual dan berorientasi kepada ekspresi dan kepuasan dari pembuatnya (seniman). Sedangkan desain grafis berorientasi kepada kegunaan atau fungsinya. Desain grafis yang baik akan dilihat dari seberapa besar impact dari karya yang dihasilkannya.
Sebagai contoh, coba bandingkan saja sebuah lukisan dengan sebuah poster. Lukisan tidak merayu siapapun untuk melakukan apapun. Lukisan hanya menggambarkan sesuatu yang bisa dinilai bebas dari berbagai sudut pandang. Namun berbeda dengan poster. Poster ditujukan untuk menyampaikan suatu pesan kepada massa. Dan tingkat keberhasilannya pun dilihat dari seberapa baik massa terpengaruh dengan poster tersebut.

Berikut ini merupakan karya dari Seni Murni, Lukisan dll






Sementara dibawah ini beberapa contoh Desain Komunikasi Visual, seperti Banner, X-Banner, poster, brosur dll





Kesimpulannya, sering sekali Desain Komunikasi Visual tampak seperti Seni Murni dan begitu juga sebaliknya. Bahan dan teknik yang digunakan juga hampir sama akan tetapi maksud dan tujuan masing-masingnya berbeda. Penyebutan subjek ahlinya pun berbeda seorang yang ahli Seni Murni disebut Seniman sementara orang yang ahli Desain Komunikasi Visual adalah Desainer. Seniman dan desainer keduanya berusaha memecahkan problem visual, tetapi seniman murni bertujuan lebih untuk memuaskan diri, sedangkan Desainer harus menggerakan sekelompok orang untuk menghadiri suatu acara tertentu, mengikuti petunjuk, memahami peta suatu lokasi atau membeli suatu produk.

ELEMEN ELEMEN YANG ADA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

A.    ILUSTRASI

Ilustrasi adalah suatu bidang dari seni yang berspesialisasi dalam penggunaan gambar yang tidak dihasilkan dari kamera atau fotografi(nonphotographic image) untuk visualisasi. Dengan kata lain, ilustrasi yang dimaksudkan di sini adalah gambar yang dihasilkan secara manual. Pada akhir tahun 1970-an, ilustrasi menjadi tren dalam Desain Komunikasi Visual. Banyak orang yang akhirnya menyadari bahwa ilustrasi dapat juga menjadi elemen yang sangat kreatif dan fleksibel, dalam arti ilustrasi dapat menjelaskan beberapa subjek yang tidak dapat dilakukan dengan fotografi, contohnya untuk menjelaskan informasi detil seperti cara kerja fotosintesis. Seorang ilustrator seringkali mengalami kesulitan dalam usahanya untuk mengkomunikasikan suatu pesan menggunakan ilustrasi, tetapi jika ia berhasil, maka dampak yang ditimbulkan umumnya sangat besar. Karena itu suatu ilustrasi harus dapat menimbulkan respon atau emosi yang diharapkan dari pengamat yang dituju. Ilustrasi umumnya lebih membawa emosi dan dapat bercerita banyak dibandingkan dengan fotografi, hal ini dikarenakan sifat ilustrasi yang lebih hidup, sedangkan sifat fotografi hanya berusaha untuk “merekam” momen sesaat. Saat ini ilustrasi lebih banyak digunakan dalam cerita anak-anak, yang biasanya bersifat imajinatif. Contohnya ilustrasi yang harus menggambarkan seekor anjing yang sedang berbicara atau anak burung yang sedang menangis karena kehilangan induknya atau beberapa ekor kelinci yang sedang bermain-main. Ilustrasi-ilustrasi yang ditampilkan harus dapat merangsang imajinasi anak-anak yang melihat buku tersebut, karena umumnya mereka belum dapat membaca.
B.     SIMBOLISME 
Simbol telah ada sejak adanya manusia, lebih dari 30.000 tahun yang lalu, saat manusia prasejarah membuat tanda-tanda pada batu dan gambar-gambar pada dinding gua di Altamira, Spanyol. Manusia pada jaman ini menggunakan simbol untuk mencatat apa yang mereka lihat dan kejadian yang mereka alami sehari-hari. Dewasa ini peranan simbol sangatlah penting dan keberadaannya sangat tak terbatas dalam kehidupan kita sehari-hari. Kemanapun kita pergi, kita akan menjumpai simbol-simbol yang mengkomunikasikan pesan tanpa penggunaan kata-kata. Tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, hotel, restoran, rumah sakit dan bandar udara; semuanya menggunakan simbol yang komunikatif dengan orang banyak, walaupun mereka tidak berbicara atau menggunakan bahasa yang sama. Simbol sangat efektif digunakan sebagai sarana informasi untuk menjembatani perbedaan bahasa yang digunakan, contohnya sebagai komponen dari signing systems sebuah pusat perbelanjaan. Untuk menginformasikan letak toilet, telepon umum, restoran, pintu masuk dan keluar, dan lain-lain digunakan simbol. Bentuk yang lebih kompleks dari simbol adalah logoLogo adalah identifikasi dari sebuah perusahaan, karena itu suatu logo mempunyai banyak persyaratan dan harus dapat mencerminkan perusahaan itu. Seorang desainer harus mengerti tentang perusahaan itu, tujuan dan objektifnya, jenis perusahaan dan image yang hendak ditampilkan dari perusahaan itu. Selain itu logo harus bersifat unik, mudah diingat dan dimengerti oleh pengamat yang dituju.
C.    FOTOGRAFI  
Ada dua bidang utama di mana seorang desainer banyak menggunakan elemen fotografi, yaitu penerbitan (publishing) dan periklanan (advertising). Beberapa tugas dan kemampuan yang diperlukan dalam kedua bidang ini hampir sama. Menurut Margaret Donegan dari majalah GQ, dalam penerbitan (dalam hal ini majalah) lebih diutamakan kemampuan untuk bercerita dengan baik dan kontak dengan pembaca; sedangkan dalam periklanan (juga dalam majalah) lebih diutamakan kemampuan untuk menjual produk yang diiklankan tersebut. Kriteria seorang fotografer yang dibutuhkan oleh sebuah penerbitan juga berbeda dengan periklanan. Dalam penerbitan, fotografer yang dibutuhkan adalah mereka yang benar-benar kreatif dalam “bercerita”, karena foto-foto yang mereka ambil haruslah dapat “bercerita” dan menunjang berita yang diterbitkan. Sedangkan dalam periklanan, fotografer yang dibutuhkan adalah mereka yang kreatif dan jeli, serta mempunyai keahlian untuk bervisualisasi. Contohnya, jika sebuah penerbit hendak menerbitkan berita tentang perampokan, maka fotografer harus berusaha untuk mengambil foto-foto yang dapat menunjang berita tersebut, misalnya suasana di sekitar tempat kejadian, korban, saksi mata dan lain-lain. Jika sebuah perusahaan periklanan hendak mempromosikan suatu parfum wanita yang berkesan anggun dan lembut, maka fotografer harus dapat mengambil foto-foto yang menonjolkan keanggunan dan kelembutan dari parfum tersebut, misalnya dengan latar belakang kain sutra dengan warnawarna pastel yang berkesan lembut. Fotografi sering dipakai selain karena permintaan klien, juga karena lebih “representatif”. Contohnya jika sebuah majalah yang memuat tentang wawancara dengan seorang bintang sinetron yang sedang naik daun, maka akan digunakan foto dari bintang itu untuk menunjang desain di samping isi berita itu sendiri. Contoh lain, untuk menggambarkan sebuah tempat berlibur dalam sebuah brosur biro perjalanan, jika menggunakan ilustrasi hasilnya tidak akan semenarik dibandingkan dengan foto. Fotografi sangat efektif untuk mengesankan keberadaan suatu tempat, orang atau produk. Sebuah foto mempunyai kekuasaan walaupun realita yang dilukiskan kadangkala jauh dari keadaan yang sesungguhnya. Selain itu sebuah foto juga harus dapat memberikan kejutan dan keinginan untuk bereksperimen, misalnya dalam hal mencoba resep masakan yang baru atau tren berpakaian terbaru. Selain elemen-elemen ini, seorang desainer perlu mengerti tentang konsep dasar pemasaran dan hubungannya dengan visualisasi. Ia juga perlu mempunyai kemampuan untuk bekerja dengan rapi dan tepat. Ia juga perlu mempunyai kemampuan untuk bersosialisasi (people skills) untuk menghadapi klien, supplier, sub kontraktor, percetakan dan lain-lain.
D.    TYPOGRAFI 
Tipografi adalah seni menyusun huruf-huruf sehingga dapat dibaca tetapi masih mempunyai nilai desain. Tipografi digunakan sebagai metode untuk menerjemahkan kata-kata (lisan) ke dalam bentuk tulisan (visual). Fungsi bahasa visual ini adalah untuk mengkomunikasikan ide, cerita dan informasi melalui segala bentuk media, mulai dari label pakaian, tanda-tanda lalu lintas, poster, buku, surat kabar dan majalah. Karena itu pekerjaan seorang tipografer (penata huruf) tidak dapat lepas dari semua aspek kehidupan sehari-hari. Menurut Nicholas Thirkell, seorang tipographer terkenal, pekerjaan dalam tipografi dapat dibagi dalam dua bidang, tipografer dan desainer huruf (type designer). Seorang tipografer berusaha untuk mengkomunikasikan ide dan emosi dengan menggunakan bentuk huruf yang telah ada, contohnya penggunaan bentuk Script untuk mengesankan keanggunan, keluwesan, feminitas, dan lain-lain. Karena itu seorang tipografer harus mengerti bagaimana orang berpikir dan bereaksi terhadap suatu image yang diungkapkan oleh huruf-huruf. Pekerjaan seorang tipografer memerlukan sensitivitas dan kemampuan untuk memperhatikan detil. Sedangkan seorang desainer huruf lebih memfokuskan untuk mendesain bentuk huruf yang baru. Saat ini, banyak diantara kita yang telah terbiasa untuk melakukan visualisasi serta membaca dan mengartikan suatu gambar atau image. Disinilah salah satu tugas seorang tipografer untuk mengetahui dan memahami jenis huruf tertentu yang dapat memperoleh reaksi dan emosi yang diharapkan dari pengamat yang dituju. contoh dari penggunaan typografi yang benar sudah saya jelaskan sebelumnya.










Sumber :
http://pratamaasport.blogspot.co.id/2016/09/desain-komunikasi-visual-vs-seni-murni.html
http://satrioprmbd.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-dan-sejarah-desain.html
https://designideasdkv1.wordpress.com/2013/01/07/elemen-elemen-desain-komunikasi-visual/